Kamis, 15 Oktober 2015

Kematian Kerukunan_ #GREAT2ndCOMPETITIONFEUNJ.



Kematian Kerukunan
Geser rono, le!”
            Geser kesana, nak! Itu teriakan Abah Salim. Tetua dikampungku yang paling disegani-aku yakin ini kata yang paling mendekati untuk ‘ditakuti’-, sama sekali tidak rapi, tetapi entah kenapa berubah menjadi ahli kerapian saat ini.
            Sound sytem didepanku, sudah kuputar segeala arah dalam satu jam ini. Aku curiga dan bertambah yakin bahwa ia sedang mempermainkanku. Atau, jika prasangka baik ku berkata, ia memang seorang ahli kerapian. Yang sedang ingin mensejajarkan sounds system dengan awan.
Sampun Bah, niku pun sae.”
            Sudah Bah, itu sudah bagus. Terdengar suara halus yang menangkan hatiku. Aku bersyukur tidak harus mengumpat apalagi melompat kearah Abah Salim. Ia berjalan kearah kami. Segera kutau, Itu Pak Slamet orang yang benar-benar disegani dikampung ini. Kebanyakan orang beralasan karena ketegasannya dan sisanya karena sesuatu lain. Yang tidak sedang ingin kuingat. Jadi lupakan, bahwa aku akan menceritakannya.
            Abah salim berjalan melewatiku. Menyambut Pak Slamet dengan jabatan tanggannya. Membuat hatiku, entah kenapa, tertawa skeptis.
“Bah, ini Hanafi jangan dikerasin. Jiwanya masih muda,” ujar Pak Slamet yang langsung disusul tawa menghina milik Abah Salim.
“Hanafi kalau gak dikerasin malah jadi lelet Met!”
Kurang ajar betul orang tua ini. Tidak taukah anak muda yang diangggapnya lelet ini mampu menendangnya saat ini juga? Namun sayang, sebelum aku benar-benar membuktikannya, Pak Slamet membisikan sesuatu kepada Abah Salim yang segera membuatnya pergi.
“Tahan, le. Jangan sampai ada pertikaian lagi.”
            Penekanannya pada kata lagi sungguh ketara. Namun aku hanya berusaha tersenyum menghalau kelebatan ingatan itu kembali.
“Tahun ini lebih asyik ya?”
            Sesungguhnya, ketika ia melafalkan huruf ‘sy’ pada ‘asyik’ dengan disertai memoncongkan bibir membuatku ingin tertawa lucu. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dalam perutku menahan tawa itu. Sepertinya, Pak Slamet seolah sengaja ingin membangkitkan ingatanku. Terlihat sekali dari ucapannya. Tahun ini lebih asyik? Pasti tahun kemarin-kemarin tidak menarik. Apalagi setahun yang lalu. Tapi mungkin, pilu.
            Tanpa perlu jawaban, Pak Slamet berjalan melewatiku. Entah naluri apa. Aku yakin, ia ingin aku mengikutinya. Jadi, kusejajarkan langkahku. Wajah Pak Slamet dari samping terlihat berbeda. Ketegasan dimatanya berkurang. Berganti dengan kenelangsaan yang menyetrum tubuhku. Ada kesepian yang aneh membuatku terjungkal balik pada hari itu. Hari yang kuyakini rasanya seperti, ketika Hiroshima dijatuhi bom oleh Amerika Serikat. Ada kejutan diakhiri penyesalan yang mengikat.
le, Ayo ke Rafi.”
            Ajakan itu, membawa semilir angin halus ditengah udara terik. Yang nyatanya, sukses menghancurkan tekadku yang sebelumnya menolak bercerita kini tergugah. Sebelum aku benar-benar terlempar pada ingatan. Kudengar suaraku menyahut, “Nggeh, Pak.”
**
            Tatapan matanya jenaka seperti biasanya, dan suaranya mengeluarkan umpatan yang kurang cocok dengan cuaca pagi bahagia yang sedang berlangsung. Dia Rafi. Berjalan disebelahku. Langkah kakinya jelas menegaskan ia menolak langkah itu sendiri.
            Dadi opo seng berhasil mekso koen melok upacara?,” tanya ku. Jadi apa yang berhasil memaksanya untuk ikut upacara? Kuingat, ia kemarin dengan jelas mendeklamasikan padaku bahwa tidak akan ada apapun yang berhasil memaksanya mengikuti upacara kemerdekaan hari ini.
            “Nggak usah tanya pasti tau. Siapa lagi, Bapak tercinteeee buat ane gile...”
            Dia benar, aku tau. Siapa yang tidak bisa menebak, bahwa orang tua yang paling ditakuti Rafi adalah Bapak. Walaupun badan Rafi lebih besar daripada sang bapak, tapi jika sudah berucap ‘Tidak!’ , maka tak ada kata menolak.
            Kengganan Rafi untuk tidak mengikuti upacara kemerdekaan sudah wajar. Aku pun juga tak rela harus mengikuti upacara yang diadakan dikampung setahun sekali. Sungguh, ini bukannya tidak ada jiwa nasionalis. Tapi karena kami bukan seorang Rasis.
            “Udahlah! Eh, ada taktik baru gak?.”
            Upacara setiap tahun dikampungku selalu memiliki sesi genting. Disini, saat dimana kami  menunjukan kelihaian untuk bisa mereda situasi genting tersebut. Entah kenapa, tidak ada seseorang pun yang menciptakan sesuatu untuk menghilangkan sesi itu. Sedih, ketika kami hanya bisa mereda tanpa bisa mengatasinya. Yang malah mengingatkanku pada jerawat Neng Tutik yang diobati berkali-kali muncul lagi.
            Yang ditanya malah berhenti berjalan. Memandang kedepan dengan pemandangan jijik yang segera kutau beralasan. Kami telah sampai. Ternyata lapangan itu telah penuh dengan manusia dari berbagai macam bentuk. Biar kujelaskan arti tatapan itu, manusia-manusia itu berada disini bukan karena jiwa nasionalisme tetapi itu efek dari ‘sesi genting’ upacara ini. Naturalnya, manusia selalu punya sifat ingin mengetahui, mencoba, mengikuti hal-hal yang bisa menggairahkan hormon adrenalin mereka. Walaupun itu sesuatu yang nista. Ah, memang manusia.
            “Aku ngerti, tipuan anak gendut.”
“Ha? Opo?”
            Rafi menolak menjawab. Hanya menepuk pundakku, yang seperti berujar, lihat saja. Lalu dia pergi kearah pojok kanan lapangan, arah yang berlainan dengan tujuanku.
*
            Dari petugas upacara menyiapkan barisan sampai memasuki amanat pembina upacara, aku yakin tidak ada orang yang benar-benar berhenti berbicara. Celotehan ibu, bapakk, anak ikut meramaikan sedari tadi. Hanya ketka seorang ketua RW merangkap sebagai pembina upacara mengucapkan salam. Mereka serepak menjawab. lalu menyemak. Jelas sekali mudah ditebak, kami sedang memasuki sesi genting.
            “Ngiiingg..”
            Dengingan sounds system memenuhi lapangan. Membuat setiap orang ditempat ini dengan rafleks menutup telinga mereka. Langsung disusul suara nyanyian yag kutau bukan dari sound system kami.  Semua orang disini menggerutu, mengumpat pada arah datangnya suara.
            Pasti sebentar lagi akan dimulai. Biar kujelaskan, dikampung kami ada dua golongan yang berbeda sangat berbeda dalam hal apapun. Sudah menjadi adat bagi kami, jika golongan kanan memilih upacara didekat masjid maka kami, golongan kiri tidak akan sudi mengikuti. Sampai kapan pun. Aku tidak tau asal usulnya kenapa. Dan juga tidak tau harus bagaimana.
“Ehm..”
            Itu dehaman ketua RW yang minta perhatian. Dan berhasil. Warga mengalihkan perhatiannya kearah pak RW yang memulai pidatonya. Kutangkap dia berkata, Golongan disana aneh. Karena menggunakan bahasa yang nyeleneh. Mereka juga melarat. Hanya bisa menggunakan tiang bendera berkarat. Dan hinaan lainnya yang tidak akan kuampun. Karena ucapannya, bahkan akan ditolak editor manapun.
            Tiba-tiba terdengar langkah yang berbondong-bondong kearah lapangan. Tidak usah ditebak lagi, Pak RW berhasil memancing golongan kanan untuk memulai sesi genting.
            Muncul lah barisan dengan orang-orang berdandan tidak rupawan atau bisa dibilang menakutkan. Karena ada yang berpakaian hanya selendang dan memerkan dada. Dan ada juga dengan pakaian berbulu. Entah bulu apa.
Dibarisan depan memimpin seorang lelaki tua berkostum bulu tadi. Yang kutau adalah Ayah Rafi, Pak Slamet. Kulit wajahnya yang coklat terlihat seperti terbakar matahari. Seperti domba yang Marah.
Aku tidak yakin akan seberapa mempannya trik Rafi meredakan sesi genting. Bicara tentang Rafi, aku baru saja melihatnya dibarisan paling belakang. Berjalan menyeret langkahnya dan kepala menunduk, seperti pepatah yang berkata, melihat pun tak berkenan apalagi berteman.
            “Wah, wah ada apa ini? Apa ada yang mengundang badut?”
            Itu suara Pak RW yang segera dirumbungi tawa oleh pendukungnya. Keterlaluan. Bukan mereka yang seperti badut tapi dia yang layak disebut badut. Badut adu domba.
            Pak slamet mempercepat langkahnya. Raut wajahnya bertambah garang. Namun Pak RW malah tertantang. Mereka berhadap-hadapan. Jika mereka perempuan, kuyakin mereka akan mulai menampar. Tapi ini, para pemimpin yang tindak tanduknya diikuti oleh warganya. Akan terlihat sangat tidak waras jika, salah satunya menyerbu untuk menampar.
“JAGA MULUT SAMPEYAN!”
            Aku tau, tergambar raut terkejut namun hanya sekilas karena segera ditutupi oleh senyuman kemenangan di wajah pak RW.
Begitu juga Rafi, kepala yang tadi menunduk kini terangkat. Menoleh tak percaya ke sumber suara yang telah lama dikenalnya itu. Aku yakin Ia pasti tidak pernah curiga Bapak nya akan menyentak didepan umum.
            Entah ini ilusiku atau bukan. Aku melihat dada Rafi naik turun seperti ketika dia selesai dari test olahraga senam. Kuharap keadaanya tidak bertambah runyam. Karenanya, segera saja kuhampiri dia.
            “Woi! Kenapa bro?”
            Dia menoleh tersentak kearahku... gawat! Apakah tadi sapaanku terlalu keras? Sehingga entah kenapa sekarang, kuyakin dada Rafi naik turun lebih kencang daripada ilusiku.
            “Seragan. Asma. Tipuan. Anak. Gendut,” ucap Rafi dengan setiap kata untuk setiap tarikan nafasnya.
Aku menghela nafas lega. Antara bersyukur tidak ada yang parah dan juga memuji daya akting Rafi yang tidak ada seorang pun yang tau, itu hanyalah tipuan.
“Sialan! Hebat pisan kon!” ujarku sambil meninju perutnya yang gompal. Dia hanya tersenyum lalu memperparah keadaanannya yang kini telah diimbui suara “Ngiiikk” yang nyaring. Cukup keras membuat Pak Slamet menoleh.
Dengan segera mengacuhkan musuhnya, pak Slamet yang pucat menghampiri kami. Membuat kaki-kakinya tersaruk akibat terlalu tergesa.
“Raf? Kenopo Raf?”
Rafi hanya tersenyum dan menekan dadanya yang naik turun. Yang sama sekali tidak membuat turun kekhawatiran pak Slamet. Dengan amarah dan kekacauan, Dia membawa Rafi berbalik dan pergi.
“Loh pak? Kape nangdi? Anak penyakiten sek diingu wae.1 Hahahaha.”
Teriakan yang disambung tawa itu berhasil membuat pak Slamet mengurungkan niatnya untuk pergi. Lalu kembali untuk menghadap pak RW dan meluncurkan tinjunya kearah perut Pak RW yang membuatnya mundur sedikit kebelakang. Itu semata-mata karena efek terkejut. Sesungguhnya, perbandingan badan antara mereka lebih jauh memihak kearah pak RW.
            Melihat itu. Rafi yang disebelahku menyaringkan nafasnya. Yang tak menimbulkan efek apapun pada bapak nya. Keningnya mulai berkeringat dan segera ku ajak pergi menjauh meminta pertolongan.
“Han. Cepetan. Panggil. Abah. Salim! Sorry. Aku. Gak. kuat.”
Aku tidak bisa mencerna perkataan Rafi dengan baik karena terlalu banyak bunyi nyaring yang ditimbulkan nafasnya. Kenapa tak menyudahinya saja sih? Toh, ini hanya aku.
“Cepetan!”
Entah karena kaget akan bentakan Rafi atau apa, aku langsung berlari kerumah Abah Salim.  Orang tua itu, tidak pernah ikut golongan manapun. Orang-orang pun tidak ada yang mau repot-repot mengancamnya untuk memihak. Karena Abah salim terlalu... kolot. Yang anehnya, malah disegani Rafi.
Diantara rumah-rumah yang mengantarku ke Abah salim, ada sesuatu yang menggantung dalam pikiranku. Apa yang membuat Rafi kelelahan? karena mengatur nafasnya terlalu keras kah? Atau karena sesuatu yang lain.
1 Mau kemana? Anak penyakitan masih dipelihara saja.

 
Berpikir tentang sesuatu yang lain, membuat lariku tertahan dan jatuh. Sungguh, aku keliru langkah
**
Hanya kebodohan yang kami hasilkan dari hari bersejarah itu. Walaupun aku berhasil membawa Abah Salim kearah lapangan. Dan kami tiba pada masa yang bisa dibilang kemerdekaan.
Setelah aku berada disana, ternyata terlalu banyak korban luka yang membuat sangsi para pemimpin mereka untuk meneruskan adu perkelahian. Tapi tentu saja terlambat. Siapa yang mampu menggatikan kerukunan dengan luka? Belum cukup itu saja, seolah kerukunan adalah harga yang mahal. Hingga diharuskan ada satu yang hilang.
Aku menghela nafas terlalu keras. Membuat Pak Slamet menoleh kearahku dan memberikan senyuman yang sama dengan tatapannya. Kenelangsaan. Karena kami akan mengunjungi Rafi, aku memberinya senyuman menguatkan, lalu menepuk pundaknya yang sekeras zaman.
Setelah memastikan kami tidak datang dengan wajah masam, kami melangkah ke dalam makam.
***

 

Blog Template by BloggerCandy.com