Kematian
Kerukunan
“Geser
rono, le!”
Geser kesana, nak! Itu teriakan Abah Salim. Tetua
dikampungku yang paling disegani-aku yakin ini kata yang paling mendekati untuk
‘ditakuti’-, sama sekali tidak rapi, tetapi entah kenapa berubah menjadi ahli
kerapian saat ini.
Sound sytem didepanku, sudah kuputar segeala arah
dalam satu jam ini. Aku curiga dan bertambah yakin bahwa ia sedang
mempermainkanku. Atau, jika prasangka baik ku berkata, ia memang seorang ahli
kerapian. Yang sedang ingin mensejajarkan sounds system dengan awan.
“Sampun
Bah, niku pun sae.”
Sudah Bah, itu sudah bagus. Terdengar suara halus yang
menangkan hatiku. Aku bersyukur tidak harus mengumpat apalagi melompat kearah
Abah Salim. Ia berjalan kearah kami. Segera kutau, Itu Pak Slamet orang yang
benar-benar disegani dikampung ini. Kebanyakan orang beralasan karena
ketegasannya dan sisanya karena sesuatu lain. Yang tidak sedang ingin kuingat.
Jadi lupakan, bahwa aku akan menceritakannya.
Abah salim berjalan melewatiku. Menyambut Pak Slamet
dengan jabatan tanggannya. Membuat hatiku, entah kenapa, tertawa skeptis.
“Bah,
ini Hanafi jangan dikerasin. Jiwanya masih muda,” ujar Pak Slamet yang langsung
disusul tawa menghina milik Abah Salim.
“Hanafi
kalau gak dikerasin malah jadi lelet Met!”
Kurang
ajar betul orang tua ini. Tidak taukah anak muda yang diangggapnya lelet ini
mampu menendangnya saat ini juga? Namun sayang, sebelum aku benar-benar
membuktikannya, Pak Slamet membisikan sesuatu kepada Abah Salim yang segera
membuatnya pergi.
“Tahan,
le. Jangan sampai ada pertikaian lagi.”
Penekanannya pada kata lagi sungguh ketara. Namun
aku hanya berusaha tersenyum menghalau kelebatan ingatan itu kembali.
“Tahun
ini lebih asyik ya?”
Sesungguhnya, ketika ia melafalkan huruf ‘sy’ pada
‘asyik’ dengan disertai memoncongkan bibir membuatku ingin tertawa lucu. Tapi
ada sesuatu yang lebih besar dalam perutku menahan tawa itu. Sepertinya, Pak
Slamet seolah sengaja ingin membangkitkan ingatanku. Terlihat sekali dari
ucapannya. Tahun ini lebih asyik? Pasti tahun kemarin-kemarin tidak menarik.
Apalagi setahun yang lalu. Tapi mungkin, pilu.
Tanpa perlu jawaban, Pak Slamet berjalan melewatiku. Entah
naluri apa. Aku yakin, ia ingin aku mengikutinya. Jadi, kusejajarkan langkahku.
Wajah Pak Slamet dari samping terlihat berbeda. Ketegasan dimatanya berkurang.
Berganti dengan kenelangsaan yang menyetrum tubuhku. Ada kesepian yang aneh
membuatku terjungkal balik pada hari itu. Hari yang kuyakini rasanya seperti,
ketika Hiroshima dijatuhi bom oleh Amerika Serikat. Ada kejutan diakhiri penyesalan
yang mengikat.
“le,
Ayo ke Rafi.”
Ajakan itu, membawa semilir angin halus ditengah udara terik.
Yang nyatanya, sukses menghancurkan tekadku yang sebelumnya menolak bercerita
kini tergugah. Sebelum aku benar-benar terlempar pada ingatan. Kudengar suaraku
menyahut, “Nggeh, Pak.”
**
Tatapan matanya jenaka seperti biasanya, dan suaranya
mengeluarkan umpatan yang kurang cocok dengan cuaca pagi bahagia yang sedang
berlangsung. Dia Rafi. Berjalan disebelahku. Langkah kakinya jelas menegaskan
ia menolak langkah itu sendiri.
“Dadi opo seng berhasil mekso koen melok upacara?,”
tanya ku. Jadi apa yang berhasil memaksanya untuk ikut upacara? Kuingat, ia
kemarin dengan jelas mendeklamasikan padaku bahwa tidak akan ada apapun yang
berhasil memaksanya mengikuti upacara kemerdekaan hari ini.
“Nggak usah tanya pasti tau. Siapa lagi, Bapak tercinteeee
buat ane gile...”
Dia benar, aku tau. Siapa yang tidak bisa menebak, bahwa
orang tua yang paling ditakuti Rafi adalah Bapak. Walaupun badan Rafi lebih
besar daripada sang bapak, tapi jika sudah berucap ‘Tidak!’ , maka tak ada kata
menolak.
Kengganan Rafi untuk tidak mengikuti upacara kemerdekaan
sudah wajar. Aku pun juga tak rela harus mengikuti upacara yang diadakan
dikampung setahun sekali. Sungguh, ini bukannya tidak ada jiwa nasionalis. Tapi
karena kami bukan seorang Rasis.
“Udahlah! Eh, ada taktik baru gak?.”
Upacara setiap tahun dikampungku selalu memiliki sesi
genting. Disini, saat dimana kami
menunjukan kelihaian untuk bisa mereda situasi genting tersebut. Entah
kenapa, tidak ada seseorang pun yang menciptakan sesuatu untuk menghilangkan
sesi itu. Sedih, ketika kami hanya bisa mereda tanpa bisa mengatasinya. Yang
malah mengingatkanku pada jerawat Neng Tutik yang diobati berkali-kali muncul
lagi.
Yang ditanya malah berhenti berjalan. Memandang kedepan
dengan pemandangan jijik yang segera kutau beralasan. Kami telah sampai.
Ternyata lapangan itu telah penuh dengan manusia dari berbagai macam bentuk.
Biar kujelaskan arti tatapan itu, manusia-manusia itu berada disini bukan
karena jiwa nasionalisme tetapi itu efek dari ‘sesi genting’ upacara ini.
Naturalnya, manusia selalu punya sifat ingin mengetahui, mencoba, mengikuti
hal-hal yang bisa menggairahkan hormon adrenalin mereka. Walaupun itu sesuatu
yang nista. Ah, memang manusia.
“Aku ngerti, tipuan anak gendut.”
“Ha?
Opo?”
Rafi menolak menjawab. Hanya menepuk pundakku, yang
seperti berujar, lihat saja. Lalu dia pergi kearah pojok kanan lapangan, arah
yang berlainan dengan tujuanku.
*
Dari petugas upacara menyiapkan barisan sampai memasuki
amanat pembina upacara, aku yakin tidak ada orang yang benar-benar berhenti
berbicara. Celotehan ibu, bapakk, anak ikut meramaikan sedari tadi. Hanya ketka
seorang ketua RW merangkap sebagai pembina upacara mengucapkan salam. Mereka
serepak menjawab. lalu menyemak. Jelas sekali mudah ditebak, kami sedang
memasuki sesi genting.
“Ngiiingg..”
Dengingan sounds system memenuhi lapangan. Membuat setiap
orang ditempat ini dengan rafleks menutup telinga mereka. Langsung disusul
suara nyanyian yag kutau bukan dari sound system kami. Semua orang disini menggerutu, mengumpat pada
arah datangnya suara.
Pasti sebentar lagi akan dimulai. Biar kujelaskan,
dikampung kami ada dua golongan yang berbeda sangat berbeda dalam hal apapun. Sudah
menjadi adat bagi kami, jika golongan kanan memilih upacara didekat masjid maka
kami, golongan kiri tidak akan sudi mengikuti. Sampai kapan pun. Aku tidak tau
asal usulnya kenapa. Dan juga tidak tau harus bagaimana.
“Ehm..”
Itu dehaman ketua RW yang minta perhatian. Dan berhasil.
Warga mengalihkan perhatiannya kearah pak RW yang memulai pidatonya. Kutangkap
dia berkata, Golongan disana aneh. Karena menggunakan bahasa yang nyeleneh. Mereka
juga melarat. Hanya bisa menggunakan tiang bendera berkarat. Dan hinaan lainnya
yang tidak akan kuampun. Karena ucapannya, bahkan akan ditolak editor manapun.
Tiba-tiba terdengar langkah yang berbondong-bondong
kearah lapangan. Tidak usah ditebak lagi, Pak RW berhasil memancing golongan
kanan untuk memulai sesi genting.
Muncul lah barisan dengan orang-orang berdandan tidak
rupawan atau bisa dibilang menakutkan. Karena ada yang berpakaian hanya
selendang dan memerkan dada. Dan ada juga dengan pakaian berbulu. Entah bulu
apa.
Dibarisan
depan memimpin seorang lelaki tua berkostum bulu tadi. Yang kutau adalah Ayah
Rafi, Pak Slamet. Kulit wajahnya yang coklat terlihat seperti terbakar
matahari. Seperti domba yang Marah.
Aku
tidak yakin akan seberapa mempannya trik Rafi meredakan sesi genting. Bicara
tentang Rafi, aku baru saja melihatnya dibarisan paling belakang. Berjalan menyeret
langkahnya dan kepala menunduk, seperti pepatah yang berkata, melihat pun tak
berkenan apalagi berteman.
“Wah, wah ada apa ini? Apa ada yang mengundang badut?”
Itu suara Pak RW yang segera dirumbungi tawa oleh
pendukungnya. Keterlaluan. Bukan mereka yang seperti badut tapi dia yang layak
disebut badut. Badut adu domba.
Pak slamet mempercepat langkahnya. Raut wajahnya
bertambah garang. Namun Pak RW malah tertantang. Mereka berhadap-hadapan. Jika
mereka perempuan, kuyakin mereka akan mulai menampar. Tapi ini, para pemimpin
yang tindak tanduknya diikuti oleh warganya. Akan terlihat sangat tidak waras
jika, salah satunya menyerbu untuk menampar.
“JAGA
MULUT SAMPEYAN!”
Aku tau, tergambar raut terkejut namun hanya sekilas
karena segera ditutupi oleh senyuman kemenangan di wajah pak RW.
Begitu juga Rafi, kepala
yang tadi menunduk kini terangkat. Menoleh tak percaya ke sumber suara yang
telah lama dikenalnya itu. Aku yakin Ia pasti tidak pernah curiga Bapak nya akan
menyentak didepan umum.
Entah ini ilusiku atau bukan. Aku melihat dada Rafi naik
turun seperti ketika dia selesai dari test olahraga senam. Kuharap keadaanya
tidak bertambah runyam. Karenanya, segera saja kuhampiri dia.
“Woi! Kenapa bro?”
Dia menoleh tersentak kearahku... gawat! Apakah tadi
sapaanku terlalu keras? Sehingga entah kenapa sekarang, kuyakin dada Rafi naik
turun lebih kencang daripada ilusiku.
“Seragan. Asma. Tipuan. Anak. Gendut,” ucap Rafi dengan
setiap kata untuk setiap tarikan nafasnya.
Aku menghela nafas lega.
Antara bersyukur tidak ada yang parah dan juga memuji daya akting Rafi yang
tidak ada seorang pun yang tau, itu hanyalah tipuan.
“Sialan!
Hebat pisan kon!” ujarku sambil meninju perutnya yang gompal. Dia
hanya tersenyum lalu memperparah keadaanannya yang kini telah diimbui suara
“Ngiiikk” yang nyaring. Cukup keras membuat Pak Slamet menoleh.
Dengan
segera mengacuhkan musuhnya, pak Slamet yang pucat menghampiri kami. Membuat
kaki-kakinya tersaruk akibat terlalu tergesa.
“Raf?
Kenopo Raf?”
Rafi
hanya tersenyum dan menekan dadanya yang naik turun. Yang sama sekali tidak
membuat turun kekhawatiran pak Slamet. Dengan amarah dan kekacauan, Dia membawa
Rafi berbalik dan pergi.
“Loh
pak? Kape nangdi? Anak penyakiten sek diingu wae.1 Hahahaha.”
Teriakan
yang disambung tawa itu berhasil membuat pak Slamet mengurungkan niatnya untuk
pergi. Lalu kembali untuk menghadap pak RW dan meluncurkan tinjunya kearah
perut Pak RW yang membuatnya mundur sedikit kebelakang. Itu semata-mata karena
efek terkejut. Sesungguhnya, perbandingan badan antara mereka lebih jauh memihak
kearah pak RW.
Melihat itu. Rafi yang disebelahku
menyaringkan nafasnya. Yang tak menimbulkan efek apapun pada bapak nya.
Keningnya mulai berkeringat dan segera ku ajak pergi menjauh meminta
pertolongan.
“Han.
Cepetan. Panggil. Abah. Salim! Sorry. Aku. Gak. kuat.”
Aku
tidak bisa mencerna perkataan Rafi dengan baik karena terlalu banyak bunyi
nyaring yang ditimbulkan nafasnya. Kenapa tak menyudahinya saja sih? Toh, ini
hanya aku.
“Cepetan!”
Entah
karena kaget akan bentakan Rafi atau apa, aku langsung berlari kerumah Abah
Salim. Orang tua itu, tidak pernah ikut
golongan manapun. Orang-orang pun tidak ada yang mau repot-repot mengancamnya
untuk memihak. Karena Abah salim terlalu... kolot. Yang anehnya,
malah disegani Rafi.
Diantara
rumah-rumah yang mengantarku ke Abah salim, ada sesuatu yang menggantung dalam
pikiranku. Apa yang membuat Rafi kelelahan? karena mengatur nafasnya terlalu
keras kah? Atau karena sesuatu yang lain.
|
**
Hanya
kebodohan yang kami hasilkan dari hari bersejarah itu. Walaupun aku berhasil
membawa Abah Salim kearah lapangan. Dan kami tiba pada masa yang bisa dibilang
kemerdekaan.
Setelah
aku berada disana, ternyata terlalu banyak korban luka yang membuat sangsi para
pemimpin mereka untuk meneruskan adu perkelahian. Tapi tentu saja terlambat.
Siapa yang mampu menggatikan kerukunan dengan luka? Belum cukup itu saja,
seolah kerukunan adalah harga yang mahal. Hingga diharuskan ada satu yang
hilang.
Aku
menghela nafas terlalu keras. Membuat Pak Slamet menoleh kearahku dan
memberikan senyuman yang sama dengan tatapannya. Kenelangsaan. Karena kami akan
mengunjungi Rafi, aku memberinya senyuman menguatkan, lalu menepuk pundaknya
yang sekeras zaman.
Setelah
memastikan kami tidak datang dengan wajah masam, kami melangkah ke dalam makam.
***