Rabu, 06 Agustus 2014

BULU MATA

BULU MATA



“Beb, nanti temenin aku ke Giant dong?,” ucap perempuan itu dengan manja. Matanya yang tebal oleh bulu mata imitasi mengerdip berkali kali. Yang banyak dipuja oleh kebanyakan lelaki sebagai hal yang lucu, menggemaskan, dan cinta.
“Tentu dong beb, nanti siang kan? Habis pulang sekolah?,” si lelaki menjawabnya dengan semangat dicampur dengan nada memohon dipeluk.
Aku menelan ludah dengan susah. Drama macam apa ini? Kenapa mereka dengan mudahnya mengobral sayang, cinta dan manja dengan gampang nya? Dimuka umum!
Aku memaklumi jika Kezia yang cantik itu dengan mudahnya mampu meluluhkan hati lelaki. Hanya dengan sekali kedip, melalui bulu mata imitasinya itu, buih-buih cinta dan kemanjaan akan mencekik hati banyak lelaki. Aku juga memaklumi jika sebulan atau lebih dari kejadian ini, Kezia akan datang kepadaku dengan air matanya. Menceritakan bagaimana sakit hatinya karena telah dikhianati lelaki. Membeberkan segala hal tentang bagaimana munafiknya lelaki. Bagaimana manisnya mulut lelaki. Dan diakhir cerita, dia berjanji tidak akan terjebak lagi dengan yang namanya lelaki.
Dan aku masih tetap memaklumi, jika sebulan atau kurang dari acara drama Kezia yang penuh dengan tangisan itu akan berakhir. Dengan ditandai, drama Kezia yang baru. Memulai kisah cinta yang menggelikan dari awal. Bermanis-manisan, saling merangkul, lalu tak lama kemudian saling menyakiti. Begitu seterusnya siklus drama cinta. Hingga aku yang dijadikan penoton ini, selalu siap untuk melihat, mendengar, menanggapi, walaupun terkadang tanggapan itu tak dihiraukan. dan aku tak pernah diizinkan sekali pun untuk menjadi pemain didalamnya. Padahal, aku sudah hafal betul segala jenis scenario cinta. Kenapa tak diizinkan? Siapa juga yang berminat ikut didalamnya. Sungguh! Aku tak sudi.


*

            Senin. Hari yang membuat setiap orang tergopoh-gopoh. Mungkin karena,kemarinnya adalah sehari untuk memalaskan diri. Maka, tubuh seketika akan kaget karena dipaksa harus memulai kehidupan yang menyibukkan. Lagi.
Itu kualami, akibat dari memalasan kan diri di hari minggu. Aku harus berlari, kearah gerbang sekolah sebelum pak satpam menutupnya.
Hos..hos nafasku menderu, ayo lebih kencang lagi! Gerbang sudah didepan mata. Perhatianku hanya satu, gerbang sekolah itu. dan yap! Ah sudahlah, aku harus menunggu di luar gerbang sampai upacara selesai.
Nafasku tak beraturan, aku mencoba mengaturnya sebaik mungkin. Dengan duduk, kuharap pola nafasku menjadi lebih baik.
“Hei, kalau habis lari, kaki jangan ditekuk! Diselonjorin aja.”
Aku mendongak reflex, mengetahui ada yang menegurku. Dia ada didepanku. Menjulang tinggi, menutupiku dari sinar matahari yang mulai jahat. Tubuhnya yang membelakangi sinar matahari, membuatku harus menyipitkan mata ketika melihatnya.
“Oh ya, Thanks.”
Kulihat dia mengubah posisi nya menjadi duduk disebelahku. Dari tempatku, aku hanya mampu melihat sebagian wajahnya. Entah aba-aba darimana, matahari yang awalnya silau menjadi teduh menyinarinya. berbagai bunyi kicauan burung yang merdu dan hembusan angin yang biasanya kurasakan disawah, kini menghembus padaku, lalu menghembus disela-sela rambut jabriknya yang basah karena keringat. Bulu matanya, lentik mempesona. Ah! Bahkan bulu mata imitasinya kezia pun kalah. Kumis tipis, diatas mulutnya. Menandakan betapa kerennya dia. Satu kata yang dapat mengukir pemandangan disampingku ini adalah: Cakep!
“Pertama kali telat ya?.”
Ha? Aku mengerjap kaget. Tadi dia bilang apa? Ya ampun.. aku terlalu terlena.
“Iya apa?”
Dia tertawa. Tidak menjawab. Kini dia mengubah posisinya menghadap kearahku. Otomatis membuat hati ini berdesir. Kelopak mataku reflex mengerjap, melihat parasnya secara utuh ternyata lebih menawan.
“Hahaha, kalau telat itu nggak usah diratapin kali! Baru pertama kali telat kan? Paling-paling suruh bersihin mushola. Aku aja, udah dua kali enjoy aja,” ucapnya masih dengan nada tertawa. Lalu tiba tiba, tangannya menepuk-nepuk pundak ku.
Pundakku seketika merinding. Sungguh, perpaduan antara suara besarnya dan tawa renyahnya, membuat satu simfoni merdu dalam hatiku.
“Nggak meratapi kok!,” komentarku asal. Sekarang, aku benar-benar gugup.
Dan itu sukses membuatnya, semakin tertawa kencang.
“Udah dong ketawanya! Bersihin mushola nya hais upacara selesai ya?”
Dia mengangguk. “Sehabis upacara ada pelajaran apa?.”
Aku berfikir sejenak. Sepertinya akan terjadi sesuatu. “Mampus! Matematika! Gimana nih? Ulangan lagi.”
Disituaasiku yang sedang bingung bukan kepalang ini, dia menepuk nepuk bahu ku sekali lagi. Seolah mengisyratkan untuk tenang.
“Tenang aja!, ulangan sendiri kan bisa? Gampang kok soalnya!”
Aku menatapnya mendelik. Gampang? No! mengerjakan matematika sendirian itu udah kayak tempur gak bawa senjata. Jangan ngaco.
“Sini aku kasih rahasia nya,” dia mengisyaratkan ku untuk menunduk. Seolah, memberi tau ku sebuah resep rahasia. Aku menyimaknya. Memahami setiap kata yang diucapkannya. Dan kini, aku mengerti mengapa Kezia dengan bangganya memamerkan arti cinta padaku. Ternyata, cinta membuat segala hal lebih mudah.
Thanks ya. By the way, gak berniat kenalan nih?.”
Ini kesempatan langka. Harus dimanfaatkan!
Dia tersenyum lalu mengulurkan tangannya, “Adit, 11 Ipa 8.”
Dan berawal dari tegurannya yang manis itu, aku mulai mencari cara untuk bisa mendengarkan banyak resep rahasia darinya. Termasuk resep rahasia mencuri hatinya.


*

           Jatuh cinta membuat perubahan banyak hal. Dulu, aku yang selalu menggerutu ketika Kezia yang selalu bercerita tentang pacar atau gebetannya, kini aku mulai menyimaknya dengan senang hati. mencari tau bagaimana jalan cerita drama cinta itu yang nanti akan berakhir bahagia. Saling cinta dan saling menyematkan kedua jari.
Mungkin akhir akhir ini aku menjadi agak rajin. Sering ke perpustakaan. Hampir setiap hari. Sedangkan dulu? Setahun sekali! Itu juga karena mengembalikan buku pelajaran. Dan seperti saat ini, aku sedang mencari seseorang dibalik kokohnya rak-rak buku. Seseorang yang tak pernah sungkan membagi ilmunya, menceritakan bagaimana luasnya semesta ini.
“Ren, sini!.”
Aku melihatnya. Memanggil namaku disela sela, rak berisi buku warna warni. Melihatnya dengan pandangan berseri-seri seperti itu membuatku senang. Pasti, setelah ini dia akan menceritakan berbagai hal yang belum pernah kuduga sebelumnya.
Dia menarik lenganku kearah meja panjang untuk membaca. Taukah kamu? Betapa berdesirnya hatiku ketika telapaknya dan lenganku saling bersentuhan? Sesuatu yang pernah kutolak sebelumnya mulai menyetrum tubuhku.
Kami duduk bersebrangan, dengan meja panjang memisahkan kami. Lalu diletakkannya, buku besar didepanku. Kulihat judulnya, ‘LEUKIMIA’ . oh, aku belum pernah menyentuhnya sekalipun.
“Tau Leukimia kan?.”
“Taulah. Penyait kekurangan sel darah putih bukan?”
“Bagus! Ren, kamu ngerti? Itu penyakit ganas. Susah penyembuhannya. Presentase bertahan hidup juga dikit.”
Dia menjelaskan kepadaku dengan mengebu-ngebu, seolah aka nada hal yang menakjubkan terjadi.
“Akhir-akhir ini, ditemukan obat yang bisa nyembuh in Leukimia! kamu tau apa itu Ren?,” tanyanya sambil menatapku tajam. Aku menggeleng polos. Tentu tidak tau! Tentu kamu sudah tau kalau aku tidak tau tentang hal seperti itu. Dasar!
“Nih, baca baik-baik!.”
Dia menyodorkanku buku besar itu, lalu menunjukkanku sebuah baris kalimat yang sudah diberi garis merah. Aku membacanya, “Ditemukan cara penyembuhan Leukimia dengan cara memasukan penyakit HIV!!.” Aku melotot kearahnya, setelah membaca kata terakhir. Dia tersenyum menang, seolah sudah berhasil membuatku takjub. Kamu berhasil Dit, untuk kesekian kalinya.
 “Tapi gimana bisa? Bukannya HIV itu malah lebih bahaya ya?.”
Aku menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. masih tidak percaya.
“Jangan terburu-buru, baca pelan-pelan.” Dia menuntunku seperti biasanya, menjawab segala pertanyaanku yang kadang nyeleneh. Menjelaskan istilah istilah sains yang tak mengerti.
Setelah selesai membaca semuanya, aku merasakan hembusan angin difikiranku. Mendapat ilmu baru, membuatku lebih berarti.
Melihatku yang masih tak percaya, karena mendapatkan pengetahuan yang menggemparkan ini, tiba tiba dia mengusap kepala ku.
Refleks, sekujur tubuhku menjadi merinding. Seperti tersengat setrum yang dibawakan telapak tangannya diatas rambutku. Ini cinta. Yang membuatku kaku seketika. Dan juga merasa paling indah sedunia.
“Kepala mu jadi panas ya?, tapi biasanya hati bakalan jadi dingin karena dapat ilmu baru.”
Dia tersenyum, sembari menatapku teduh. Tatapan pertama kali, yang pernah diberikannya sewaktu pertama dulu. Suara kicau burung, semilir angin berhembus lembut, sinar mentari menyapa salut. Semuanya datang, mengabarkan pada dunia. Bahwa dia, pemuda didepanku telah membuatku jatuh cinta. Lagi.   

*

“Dia menarik Kez! Genius!”
            Masih kubayangkan bagaimana, aksi kerennya kemarin. Memberitau ku banyak hal, lalu dengan manis mengusap rambutku. Dengan mengebu-ngebu kuceritakan pada kezia. Yang diajak bercerita malah tak menanggapi. Asik sendiri dengan model kuku nya.
“Kez! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?,” aku mulai tak tahan. Enak saja, orang sudah cerita banyak malah tak diperhatikan. Nggak inget, bagaimana dulu aku selalu kamu jadikan penonton dalam drama mu?
“Gue denger, Rena sayang,” ucapnya dengan gaya khas ucapan ank Jakarta yang biasanya disinetron-sinetron. Dasar tukang drama!
“Tapi Kez, dia kok sampai saat ini belum nyatain cinta juga ya? Apa aku kurang kode?.”
Kurang kode apalagi aku? Setiap hari aku rela meyisihkan jam istirahat hanya untuk ke perpustakaan, demi mendengar cerita-ceritanya. Apa dengan itu dia belum cukup sadar?
Kezia terlihat agak berpikir lalu berkata dengan entengnya, “Mungkin loe kurang menarik.”
“Ha?.”
 Belum pernah terlintas dibenak ku, kalau aku kurang menarik dimatanya. Sungguh, selama ini aku cukup percaya diri. Walaupun tanpa aksesoris macam-macam seperti Kezia. Aku yakin Adit bertipe orang yang menerima apa adanya. Mencintai tanpa terpikat oleh bulu mata imitasi.
“Iya. Loe kurang dandan! Coba rambut kuncir kuda loe itu digerai. Lebih terkesan anggun! Dan coba, pakek lipgloss. Bibir loe itu kelihatan kering. Biar besok gue bawain semua alatnya!.”
Aku melongo. Benar memang aku ingin dilihat oleh Adit. Tapi sebegitukah? Bukankah cinta itu timbul dari dalam hati? apa adanya dan tulus.
“Tapi Kez, sepertinya Adit bukan tipe cowok yang seperti itu!.”
“Cowok itu jatuh cinta dari melihat Ren. Loe pasti bakalan menyesal kalo gak nurutin saran gue.”
Sepertinya Kezia benar. Tidak ada salahnya toh untuk mencoba? Aku ingin tau apa respon Adit ketika melihatku besok.

*

           Hari ini, semuanya terasa aneh. Sesuai janjinya, Kezia membawa peralatan make up nya. Dengan sigap dia mendandaniku, awalnya aku tidak Percaya diri dengan semua ini. Namun, setelah kulihat dicermin milik Kezia, aku takjub! Aku benar-benar menjadi seorang putrid dadakan. Kezia memang ahli nya.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap kearah perpustakaan. Lalu dengan segera mencari dimana Adit gerangan. Ternyata dia berada meja membaca pojok sendiri. Pantas susah sekali mencarinya.
Segera kuhampiri dia. Bersamaan dengan degup jantung yang semakin mendekat, semakin berdegup kencang.
Ketika aku tepat berdiri didepan bangkunya. Ia masih tak menyadari keberadaanku. Seasyik apasih tulisan itu? sampai tak menyadari bahwa aku telah berada didepannnya.
“Ehem..” aku sengaja berdeham.
Berhasil! Dia menoleh. Lantas raut wajahnya seketika berubah. Yang awalnya, serius menjadi super melongo.
Aku merona. Ternyata, siasat Kezia tepat sekali. Adit tak berkutik sekalipun.
“What do you think?.” Aku mulai berlagak bergaya seorang putri.
“Whahahaa…” tanpa diduga, dia tertawa terbahak. Membuat seisi perpustakaan sempat menoleh kearah kami. Sungguh aku malu! Padahal bukan ini yang kuinginkan. Kenapa tertawa? Apa yang salah. Bukankah tadi aku sukses membuatnya terpesona?.
Tawanya berangsur padam. Mungkin melihat perubahan mimic wajahku yang mulai malu merona.
“Ren, duduk yuk!,” ajaknya lembut. Tapi aku masih tidak terima diperlakukan seperti itu!
“Jangan ngambek. Sorry deh,” rayu nya lagi.
Aku akhirnya menurut. Lagian berdiri lama-lama membuatku pegal juga.
Aku masih terdiam. Belum mau membuka suara. Siapa sih yang mau ditertawakan? Sakitnya tuh disini!
“Kamu lagi jatuh cinta ya Ren?,” tanyanya setelah lama kami terdiam.
Pertanyaan macam apa itu? jadi, selama ini dia belum paham juga kalau aku sedang jatuh cinta kepadanya?.
Dengan kesal aku mengangguk cepat.
Kulihat dia menghembuskan nafas. Seperti ada sesuatu yang dari tadi dipendamnya berat.
“Ren. Cinta itu apa adanya. Kalau dia memaksamu berubah, itu bukan cinta. Tapi tawar menawar.”
Aku terhenyak. Aku cukup kaget ketika mendengarnya bercerita tentang ilmu alam. Tapi untuk soal cinta? Dia berhasil membuatku terpesona lebih dalam. Ku dongak kan kepalaku, kudapati mata teduhnya seperti dulu sedang menatapku pengertian.
“Jadi sedang jatuh cinta dengan siapa Nona cantik?.”
Dia mulai menggodaku lagi. Segera ku cubit pipinya dengan gemas. Lalu dia pura-pura merintih kesakitan. Ah, kamu benar benar bisa membuatku tertawa kembali.  
“Rahasia.”
Mana mau aku mengakuinya sekarang? Gengsi dong! Kata Kezia, jangan terburu-buru, perempuan itu kodratnya memberi jawaban. Bukan menunggu jawaban.
“Oh jadi sekarang mainnya rahasia-rahasiaan ya?.”
“Kok Cuma aku yang ditodong? Bahkan kamu belum pernah cerita sedang jatuh cinta dengan siapa!.”
Menyelam sambil minum air. Kalau begini, dia tak bisa mengelak lagi.
Kulihat ekspresinya berubah. Menjadi dingin dan kaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, Dia sesegera mungkin menutup bukunya dan berdiri.
“Adit?”
Melihat ekspresinya yang berubah seperti itu. ada sesuatu yang berdesir dihatiku. Entah ini pertanda baik atau buruk. Seketika tubuhku seperti menggigil. Lain kali aku akan menanyakan efek apa ini kepada Kezia.
“Suatu saat kamu pasti tau,” Ucap Adit sambil berlalu. Tanpa menoleh sekalipun.
Lagi-lagi angin dalam hatiku berhembus semakin kencang. Membuat tubuhku semakin menggigil. Ada apa ini gerangan? Semoga bukan sesuatu yang buruk.


*

           Kuceritakan semuanya pada Kezia. Tapi ternyata percuma, dia hanya menggeleng. Katanya, “Gue lupa Ren. Terlalu banyak gue jatuh cinta.”
Aku memandangnya maklum. Gadis didepanku ini, berkali kali mengalami berbagai macam drama. Dengan siklus yang berbeda. Yang aku herankan adalah. Dalam waktu dua bulan di bisa dua kali jatuh cinta. Dan mampu dua kali mendapatkan cinta. Sedangkan aku? Boro-boro dalam waktu dua bulan. Aku mengejar cinta Adit selama enam bulan. Dan itu saja belum diresmikan dengan cara nyatakan cinta.
Kadang aku berpikir, apa yang salah denganku? Mungkin kurang menarik. Tapi Adit bilang, cinta itu apa adanya. Tak perlu diubah! Lalu bagaimana caranya Kezia dengan mudah mampu mendapatkan cinta?
Mungkin aku harus menyatakan cinta terlebih dulu? Apalah arti kodrat. Sekarang zamannya emansiapsi wanita. Sudah banyak kok, wanita dulu yang memulai.
“Kez, menurutku lebih baik, aku dulu deh yang nyatain.”
Kezia yang tadi sedang asyik mengotak atik Blackberry nya. Segera melotot kearahku.
“No! No!.. No!..”
“Tapi kez, nunggu terus capek tau!.”
Menunggu itu melelahkan. Apalagi yang ditunggu belum pasti datang. Sesuatu jika lama lama dipendam itu akan menguap, dan suatu saat pasti akan tercium juga kan?
“Terserah deh. Tapi gue gak tanggung jawab resikonya ya?,” ucap kezia dengan ekspresi mengancam.
Resiko apasih? Tidak ada resiko yang buruk kan untuk menyatakan cinta duluan?. Mungkin ada resiko terburuknya. Yaitu: ditolak.
Aku menean ludah yang terasa berat dan mengganjal. Ditolak? Itu adalah kenyataan terburuk. Sudah merelakan harga diri. Ditolak pula! Aku benar benar tidak akan membayangkannya.
Tapi… jika terjadi? Aku mulai bimbang. Apakah Adit mencintaiku? Dilihat dari sikapnya, cara berceritanya jawabannya iya! Tapi selama ini Adit tak pernah mengatakannya.
Ah, mungkin harus kupancing lagi. Ya, besok akan kulihat reaksinya lagi.
“Gue penasaran sama yang namanya Adit itu yang mana.”
Kata kata Kezia membuatku tersedak dari lamunan. Oh iya, selama ini Kezia belum pernah kupertemukan dengan Adit. Setiap ku ajak ke perpustakaan jawabannya selalu, “Gue anti sama Perpustakaan.”
“Suatu saat kamu pasti tau,” kutiru ucapan Adit yang penuh misteri kemarin. Entah kenapa mengingat kata kata itu membuat hatiku ngilu kembali.
Sedangkan Kezia hanya menatapku dengan dahi berkerut.

*

            Pagi ini benar-benar pagi yang menyebalkan. Tiba-tiba aku mengalami PMS yang membuat enggan untuk pergi ke sekolah. Kepala rasanya pusing jika dipaksakan untuk berjalan. Sedangkan perut, melilit tanpa batas. Dan akhirnya kuputuskan dengan tepat. Aku absen sekolah. Absen untuk mengunjungi perpustakaan, dan pastinya absen mendengarkan cerita Adit.

           Sore nya tanpa diduga Kezia datang menjeguk. Membawa seambrek catatan dan tugas rumah. Beginilah jika tidak masuk sekolah. Walaupun sehari, tugas tak pernah menunggu hari.
“Ren, gue lagi kesemsem sama cowok,” ungkap Kezia memulai pembicaraan.
Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. “Lagi?”
Kezia tertawa kecil. Dan mulailah drama cinta Kezia dengan season yang baru.
“Pertemuan pertama itu selalu full of shit ya? Gue tadi ketemu dia gara gara dia gak sengaja nubruk gue. Dan jadinya deh kentang goreng gue tumpah semua.”
Kezia berhenti sejenak, dia menatap kearahku. Melihat bagaimana tanggapan dari ekspresi wajahku.
Mimic wajahku kubuat semenarik mungkin dengan apa yang sedang diceritakan Kezia. Padahal batin ku berkata ,sinetron sekali!
“Awalnya gue mau marah. Sumpah gue bener-bener emosi. Tapi waktu ngelihat wajahnya. Gue takjub! Patung dewa yunani idup! Gue gak bisa mendefinisakn ketampanannya dengan kata-kata Ren. Loe harus lihat sendiri!.”
Dengan difinisi dari Kezia yang mengatakan bahwa pemuda itu seperti patung dewa yunani yang hidup. Membuat satu kata dalam benakku. Yaitu,mengerikan!
“Terus dia kelas apa? Namanya?”
“Itu dia! Gue belum sempet Tanya kelasnya! Tapi gue sempet lihat name tag nya.. kalo gak salah namanya Anggara!.”
Reflex, dahi ku mengernyit. Aku seperti pernah mendengar nama itu. tapi dimana? Atau mungkin dia acara TV?
“Kayak pernah denger Kez!.”
“Namanya emang pasaran. Tapi gue yakin dia murid baru.”
“Kenapa bisa seyakin itu?.”
Kezia mengubah posisi duduknya menjadi bersila. Sambil menyomot biscuit yang baru saja dibelikan mami tadi Kezia berkata sambil tersnyum menang, “Karena gak ada cowok ganteng di sekolah yang belum gue kenal Hahaha!.”
Pluk! Bersamaan dengan suara tawa Kezia yang menggelegar itu, sebuah guling sukses kujatuhkan kearah wajahnya.
Hari ini aku mendapatkan pesan moral dikala perutku yang melilit, Bersama sahabat sesakit apapun kepalamu, akan menjadi lebih baik. Percayalah!

*

           Ada satu hal dimana kau benar benar merindukan sekolah. Yaitu, ketika disana ada seseorang yang selalu kau rindukan segala ceritanya. Maka dari itu, pagi hari ini. Aku benar-benar bersemangat. Satu hari tak bertemu dengan Adit membuat rindu itu menumpuk dalam hati, menjadi magma yang ingin dimuntahkan segera.
Maka ketika bel istirahat berbunyi, aku segera menyerbu perpustakaan. Berjalan bersemangat! Seolah aku merindukan aroma perpustakaan yang berdebu karena banyak buku yang jarang tersentuh.
“Ren, Renaa..” suara nyaring yang sangat ku kenal mengenai indra pendengaranku. Aku yang sedang berjalan dengan riangnya lantas menoleh. Ternyata betul, Kezia.
“Ngapain? Kan kayak biasanya, istirahat pertama aku diperpustakaan. Istirahat kedua dikantin.”
Ada yang berbeda dari Kezia hari ini. Lebih terlihat fresh dan ceria. Jangan-jangan dia salah sarapan?
“Gue mau ke perpustakaan.”
Pertanyaan Kezia yang ini, sukses membuatku melogo! Betulkan apa kataku, Kezia benar benar salah sarapan.
“Are you kidding me?,” Tanya ku menyelidik.
“Ngapain? Gak ada untungnya becanda in loe!, ayo buruan! Keburu bel nanti.”
Dengan paksa, Kezia menyeretku. Tanpa pernah mengerti, bahwa aku masih mematung bingung. Apakah dunia sudah berbalik sekarang?
Disepanjang perjalanan, Kezia menceritakan sebab-sebabnya mengapa ia memutuskan pergi ke perpustakaan, setelah sekian lama ia mendeklarasikan pernyataan. ‘Anti Perpustakaan’. Alasannya, “Gue lagi pengen aja!.” Nggak percaya! Sungguh!
Ah tapi sudahlah. Apapun alasannnya kenapa ditentang? Orang tobat kok di marahin.
“Eh! Gue lupa bawa kartu perpustakaan! Bentar ya ague ke kelas dulu.”
Kezia pun pergi ke kelas padahal kurang 3 kelas lagi kami sampai ke perpustakaan.
Aku pun melanjutkan perjalanan ku sendiri. Rasanya, aku sudah tak sabar bertemu dengan dia. Adit, sang pengisi rindu ku.
Perpustakaan. Di sini pun aku segera mencari keberadaanya. Ke area buku biologi, fisika, astronomi, sampai sejarah tokoh. Namun di area yang sering dikunjugi Adit tak terlihat dia dimanapun. Kemana dia? Apa tidak masuk? Ah, cari aja dulu sampai seluruh Area di perpustakaan habis.
Maka, aku mencarinya keberbagai area yang kupikir Adit jarang ada disana. Sampai batas keputus asa ku, kutemukan sosoknya. Diantara berbagai buku warna warni tentang cinta.
“Adit!.”
Dia menoleh. Sembari tersenyum. Ah, kenapa wajahnya hari ini bertambah tampan. Kelihatannya dia sedang bahagia.
“Kamu kemaren kemana aja? Aku garing kalau gak ada kamu!.”
Demi buku buku yang telah lapuk disini! Dengar apa yang baru saja diucapkan lelaki didepanku ini. Dia merindukanku!
“Aku---“
“Aku beri tau kamu sesuatu! Jawaban yang sudah kamu tunggu-tunggu.”
Tanpa memperdulikan lanjutan kalimatku, Adit segera menarik lenganku kedepan ruang perpustakaan. Sikapnya yang tiba-tiba ini membuat hatiku berdesir kembali. Kenapa ini? Apakah Adit akan menyatakan cinta padaku? Oh siapkan hatiku Tuhan!
“Lihat kesana!,” ucapnya sambil menuding ke suatu arah, aku pun mengikutinya.
“Ditempat sana. Ada sesuatu yang mmebuatku jatuh cinta. Namanya Kezia. Kamu suka?.”
Disana, tepat diujung jari telujuk tangannya, berdiri sosok Kezia yang sedang bercengkrama dengan petugas perpustakaan. Sosok yang membuat otak ku berpikir dengan keras. Seolah semua keadaan disekelilingku berputar. Aku ingat, nama Adit adalah Raditya Anggara. Lalu kemudian muncul wajah Kezia yang berseri-seri dan wajah Adit yang tersenyum mengembang. Dan seterusnya, semua berputar cepat. Berbagai pertanyaan melintas dalam benakku yang ingin kulontarkan pada Adit. Bagaimana bisa? Dua sosok yang selalu membubuhkan kisah klasik tentang bagaimana jalannya cinta, lalu dengan mudah, melemparkanku keluar dari cerita. Adit yang selalu bercerita tentang alam. Kezia yang selalu mendongengiku tentang cinta. Bagaimana bisa memaksaku untuk menerima? Menerima Drama cerita yang telah disodorkan Tuhan.
Masih dalam keadaan tidak percaya. Kutanya pada Adit yang masih tidak memahami perubahan ekspresiku. “Kenapa suka dia?.”
Dengan semangat cinta yang menggelora Adit mengucapkan rahasianya. “Coba lihat bulu matanya!”
Detik itu, sebuah pernyataan memaksa ku kembali menjadi penonton drama Kezia. Dan hari ini, aku menerima balasan lemparan bantal dari Kezia.


                                                           

TAMAT

HASIL KARYA MURNI :  Erni Tsania
 

Blog Template by BloggerCandy.com