BULU
MATA
“Beb, nanti temenin aku ke Giant dong?,” ucap
perempuan itu dengan manja. Matanya yang tebal oleh bulu mata imitasi mengerdip
berkali kali. Yang banyak dipuja oleh kebanyakan lelaki sebagai hal yang lucu,
menggemaskan, dan cinta.
“Tentu dong beb, nanti siang kan? Habis pulang
sekolah?,” si lelaki menjawabnya dengan semangat dicampur dengan nada memohon
dipeluk.
Aku menelan ludah dengan susah. Drama macam apa ini?
Kenapa mereka dengan mudahnya mengobral sayang, cinta dan manja dengan gampang
nya? Dimuka umum!
Aku memaklumi jika Kezia yang cantik itu dengan
mudahnya mampu meluluhkan hati lelaki. Hanya dengan sekali kedip, melalui bulu
mata imitasinya itu, buih-buih cinta dan kemanjaan akan mencekik hati banyak
lelaki. Aku juga memaklumi jika sebulan atau lebih dari kejadian ini, Kezia
akan datang kepadaku dengan air matanya. Menceritakan bagaimana sakit hatinya
karena telah dikhianati lelaki. Membeberkan segala hal tentang bagaimana
munafiknya lelaki. Bagaimana manisnya mulut lelaki. Dan diakhir cerita, dia
berjanji tidak akan terjebak lagi dengan yang namanya lelaki.
Dan aku masih tetap memaklumi, jika sebulan atau kurang
dari acara drama Kezia yang penuh dengan tangisan itu akan berakhir. Dengan
ditandai, drama Kezia yang baru. Memulai kisah cinta yang menggelikan dari
awal. Bermanis-manisan, saling merangkul, lalu tak lama kemudian saling
menyakiti. Begitu seterusnya siklus drama cinta. Hingga aku yang dijadikan
penoton ini, selalu siap untuk melihat, mendengar, menanggapi, walaupun terkadang
tanggapan itu tak dihiraukan. dan aku tak pernah diizinkan sekali pun untuk
menjadi pemain didalamnya. Padahal, aku sudah hafal betul segala jenis scenario
cinta. Kenapa tak diizinkan? Siapa juga yang berminat ikut didalamnya. Sungguh!
Aku tak sudi.
*
Senin.
Hari yang membuat setiap orang tergopoh-gopoh. Mungkin karena,kemarinnya adalah
sehari untuk memalaskan diri. Maka, tubuh seketika akan kaget karena dipaksa
harus memulai kehidupan yang menyibukkan. Lagi.
Itu kualami, akibat dari memalasan kan diri di hari
minggu. Aku harus berlari, kearah gerbang sekolah sebelum pak satpam
menutupnya.
Hos..hos… nafasku menderu, ayo
lebih kencang lagi! Gerbang sudah didepan mata. Perhatianku hanya satu, gerbang
sekolah itu. dan yap! Ah sudahlah, aku harus menunggu di luar gerbang sampai
upacara selesai.
Nafasku tak beraturan, aku mencoba mengaturnya
sebaik mungkin. Dengan duduk, kuharap pola nafasku menjadi lebih baik.
“Hei, kalau habis lari, kaki jangan ditekuk!
Diselonjorin aja.”
Aku mendongak reflex, mengetahui ada yang menegurku.
Dia ada didepanku. Menjulang tinggi, menutupiku dari sinar matahari yang mulai
jahat. Tubuhnya yang membelakangi sinar matahari, membuatku harus menyipitkan
mata ketika melihatnya.
“Oh ya, Thanks.”
Kulihat dia mengubah posisi nya menjadi duduk
disebelahku. Dari tempatku, aku hanya mampu melihat sebagian wajahnya. Entah
aba-aba darimana, matahari yang awalnya silau menjadi teduh menyinarinya. berbagai
bunyi kicauan burung yang merdu dan hembusan angin yang biasanya kurasakan
disawah, kini menghembus padaku, lalu menghembus disela-sela rambut jabriknya
yang basah karena keringat. Bulu matanya, lentik mempesona. Ah! Bahkan bulu
mata imitasinya kezia pun kalah. Kumis tipis, diatas mulutnya. Menandakan betapa
kerennya dia. Satu kata yang dapat mengukir pemandangan disampingku ini adalah:
Cakep!
“Pertama kali telat ya?.”
Ha? Aku mengerjap kaget. Tadi dia bilang apa? Ya
ampun.. aku terlalu terlena.
“Iya apa?”
Dia tertawa. Tidak menjawab. Kini dia mengubah posisinya
menghadap kearahku. Otomatis membuat hati ini berdesir. Kelopak mataku reflex
mengerjap, melihat parasnya secara utuh ternyata lebih menawan.
“Hahaha, kalau telat itu nggak usah diratapin kali!
Baru pertama kali telat kan? Paling-paling suruh bersihin mushola. Aku aja,
udah dua kali enjoy aja,” ucapnya masih dengan nada tertawa. Lalu tiba tiba,
tangannya menepuk-nepuk pundak ku.
Pundakku seketika merinding. Sungguh, perpaduan
antara suara besarnya dan tawa renyahnya, membuat satu simfoni merdu dalam
hatiku.
“Nggak meratapi kok!,” komentarku asal. Sekarang,
aku benar-benar gugup.
Dan itu sukses membuatnya, semakin tertawa kencang.
“Udah dong ketawanya! Bersihin mushola nya hais
upacara selesai ya?”
Dia mengangguk. “Sehabis upacara ada pelajaran
apa?.”
Aku berfikir sejenak. Sepertinya akan terjadi
sesuatu. “Mampus! Matematika! Gimana nih? Ulangan lagi.”
Disituaasiku yang sedang bingung bukan kepalang ini,
dia menepuk nepuk bahu ku sekali lagi. Seolah mengisyratkan untuk tenang.
“Tenang aja!, ulangan sendiri kan bisa? Gampang kok
soalnya!”
Aku menatapnya mendelik. Gampang? No! mengerjakan
matematika sendirian itu udah kayak tempur gak bawa senjata. Jangan ngaco.
“Sini aku kasih rahasia nya,” dia mengisyaratkan ku
untuk menunduk. Seolah, memberi tau ku sebuah resep rahasia. Aku menyimaknya.
Memahami setiap kata yang diucapkannya. Dan kini, aku mengerti mengapa Kezia
dengan bangganya memamerkan arti cinta padaku. Ternyata, cinta membuat segala
hal lebih mudah.
“Thanks
ya. By the way, gak berniat kenalan
nih?.”
Ini kesempatan langka. Harus dimanfaatkan!
Dia tersenyum lalu mengulurkan tangannya, “Adit, 11
Ipa 8.”
Dan berawal dari tegurannya yang manis itu, aku
mulai mencari cara untuk bisa mendengarkan banyak resep rahasia darinya.
Termasuk resep rahasia mencuri hatinya.
*
Jatuh
cinta membuat perubahan banyak hal. Dulu, aku yang selalu menggerutu ketika
Kezia yang selalu bercerita tentang pacar atau gebetannya, kini aku mulai menyimaknya
dengan senang hati. mencari tau bagaimana jalan cerita drama cinta itu yang
nanti akan berakhir bahagia. Saling cinta dan saling menyematkan kedua jari.
Mungkin akhir akhir ini aku menjadi agak rajin.
Sering ke perpustakaan. Hampir setiap hari. Sedangkan dulu? Setahun sekali! Itu
juga karena mengembalikan buku pelajaran. Dan seperti saat ini, aku sedang
mencari seseorang dibalik kokohnya rak-rak buku. Seseorang yang tak pernah
sungkan membagi ilmunya, menceritakan bagaimana luasnya semesta ini.
“Ren, sini!.”
Aku melihatnya. Memanggil namaku disela sela, rak
berisi buku warna warni. Melihatnya dengan pandangan berseri-seri seperti itu
membuatku senang. Pasti, setelah ini dia akan menceritakan berbagai hal yang
belum pernah kuduga sebelumnya.
Dia menarik lenganku kearah meja panjang untuk
membaca. Taukah kamu? Betapa berdesirnya hatiku ketika telapaknya dan lenganku
saling bersentuhan? Sesuatu yang pernah kutolak sebelumnya mulai menyetrum
tubuhku.
Kami duduk bersebrangan, dengan meja panjang
memisahkan kami. Lalu diletakkannya, buku besar didepanku. Kulihat judulnya, ‘LEUKIMIA’
. oh, aku belum pernah menyentuhnya sekalipun.
“Tau Leukimia kan?.”
“Taulah. Penyait kekurangan sel darah putih bukan?”
“Bagus! Ren, kamu ngerti? Itu penyakit ganas. Susah
penyembuhannya. Presentase bertahan hidup juga dikit.”
Dia menjelaskan kepadaku dengan mengebu-ngebu,
seolah aka nada hal yang menakjubkan terjadi.
“Akhir-akhir ini, ditemukan obat yang bisa nyembuh
in Leukimia! kamu tau apa itu Ren?,” tanyanya sambil menatapku tajam. Aku
menggeleng polos. Tentu tidak tau! Tentu kamu sudah tau kalau aku tidak tau
tentang hal seperti itu. Dasar!
“Nih, baca baik-baik!.”
Dia menyodorkanku buku besar itu, lalu menunjukkanku
sebuah baris kalimat yang sudah diberi garis merah. Aku membacanya, “Ditemukan
cara penyembuhan Leukimia dengan cara memasukan penyakit HIV!!.” Aku melotot
kearahnya, setelah membaca kata terakhir. Dia tersenyum menang, seolah sudah
berhasil membuatku takjub. Kamu berhasil Dit, untuk kesekian kalinya.
“Tapi gimana
bisa? Bukannya HIV itu malah lebih bahaya ya?.”
Aku menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. masih
tidak percaya.
“Jangan terburu-buru, baca pelan-pelan.” Dia
menuntunku seperti biasanya, menjawab segala pertanyaanku yang kadang nyeleneh.
Menjelaskan istilah istilah sains yang tak mengerti.
Setelah selesai membaca semuanya, aku merasakan
hembusan angin difikiranku. Mendapat ilmu baru, membuatku lebih berarti.
Melihatku yang masih tak percaya, karena mendapatkan
pengetahuan yang menggemparkan ini, tiba tiba dia mengusap kepala ku.
Refleks, sekujur tubuhku menjadi merinding. Seperti
tersengat setrum yang dibawakan telapak tangannya diatas rambutku. Ini cinta.
Yang membuatku kaku seketika. Dan juga merasa paling indah sedunia.
“Kepala mu jadi panas ya?, tapi biasanya hati
bakalan jadi dingin karena dapat ilmu baru.”
Dia tersenyum, sembari menatapku teduh. Tatapan
pertama kali, yang pernah diberikannya sewaktu pertama dulu. Suara kicau burung,
semilir angin berhembus lembut, sinar mentari menyapa salut. Semuanya datang,
mengabarkan pada dunia. Bahwa dia, pemuda didepanku telah membuatku jatuh
cinta. Lagi.
*
“Dia menarik Kez! Genius!”
Masih
kubayangkan bagaimana, aksi kerennya kemarin. Memberitau ku banyak hal, lalu
dengan manis mengusap rambutku. Dengan mengebu-ngebu kuceritakan pada kezia.
Yang diajak bercerita malah tak menanggapi. Asik sendiri dengan model kuku nya.
“Kez! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?,” aku
mulai tak tahan. Enak saja, orang sudah cerita banyak malah tak diperhatikan.
Nggak inget, bagaimana dulu aku selalu kamu jadikan penonton dalam drama mu?
“Gue denger, Rena sayang,” ucapnya dengan gaya khas
ucapan ank Jakarta yang biasanya disinetron-sinetron. Dasar tukang drama!
“Tapi Kez, dia kok sampai saat ini belum nyatain
cinta juga ya? Apa aku kurang kode?.”
Kurang kode apalagi aku? Setiap hari aku rela
meyisihkan jam istirahat hanya untuk ke perpustakaan, demi mendengar
cerita-ceritanya. Apa dengan itu dia belum cukup sadar?
Kezia terlihat agak berpikir lalu berkata dengan
entengnya, “Mungkin loe kurang menarik.”
“Ha?.”
Belum pernah
terlintas dibenak ku, kalau aku kurang menarik dimatanya. Sungguh, selama ini
aku cukup percaya diri. Walaupun tanpa aksesoris macam-macam seperti Kezia. Aku
yakin Adit bertipe orang yang menerima apa adanya. Mencintai tanpa terpikat
oleh bulu mata imitasi.
“Iya. Loe kurang dandan! Coba rambut kuncir kuda loe
itu digerai. Lebih terkesan anggun! Dan coba, pakek lipgloss. Bibir loe itu
kelihatan kering. Biar besok gue bawain semua alatnya!.”
Aku melongo. Benar memang aku ingin dilihat oleh
Adit. Tapi sebegitukah? Bukankah cinta itu timbul dari dalam hati? apa adanya
dan tulus.
“Tapi Kez, sepertinya Adit bukan tipe cowok yang
seperti itu!.”
“Cowok itu jatuh cinta dari melihat Ren. Loe pasti
bakalan menyesal kalo gak nurutin saran gue.”
Sepertinya Kezia benar. Tidak ada salahnya toh untuk
mencoba? Aku ingin tau apa respon Adit ketika melihatku besok.
*
Hari
ini, semuanya terasa aneh. Sesuai janjinya, Kezia membawa peralatan make up
nya. Dengan sigap dia mendandaniku, awalnya aku tidak Percaya diri dengan semua
ini. Namun, setelah kulihat dicermin milik Kezia, aku takjub! Aku benar-benar
menjadi seorang putrid dadakan. Kezia memang ahli nya.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap kearah
perpustakaan. Lalu dengan segera mencari dimana Adit gerangan. Ternyata dia
berada meja membaca pojok sendiri. Pantas susah sekali mencarinya.
Segera kuhampiri dia. Bersamaan dengan degup jantung
yang semakin mendekat, semakin berdegup kencang.
Ketika aku tepat berdiri didepan bangkunya. Ia masih
tak menyadari keberadaanku. Seasyik apasih tulisan itu? sampai tak menyadari
bahwa aku telah berada didepannnya.
“Ehem..” aku sengaja berdeham.
Berhasil! Dia menoleh. Lantas raut wajahnya seketika
berubah. Yang awalnya, serius menjadi super melongo.
Aku merona. Ternyata, siasat Kezia tepat sekali.
Adit tak berkutik sekalipun.
“What do you think?.” Aku mulai berlagak bergaya
seorang putri.
“Whahahaa…” tanpa diduga, dia tertawa terbahak.
Membuat seisi perpustakaan sempat menoleh kearah kami. Sungguh aku malu!
Padahal bukan ini yang kuinginkan. Kenapa tertawa? Apa yang salah. Bukankah
tadi aku sukses membuatnya terpesona?.
Tawanya berangsur padam. Mungkin melihat perubahan
mimic wajahku yang mulai malu merona.
“Ren, duduk yuk!,” ajaknya lembut. Tapi aku masih
tidak terima diperlakukan seperti itu!
“Jangan ngambek. Sorry deh,” rayu nya lagi.
Aku akhirnya menurut. Lagian berdiri lama-lama
membuatku pegal juga.
Aku masih terdiam. Belum mau membuka suara. Siapa
sih yang mau ditertawakan? Sakitnya tuh disini!
“Kamu lagi jatuh cinta ya Ren?,” tanyanya setelah
lama kami terdiam.
Pertanyaan macam apa itu? jadi, selama ini dia belum
paham juga kalau aku sedang jatuh cinta kepadanya?.
Dengan kesal aku mengangguk cepat.
Kulihat dia menghembuskan nafas. Seperti ada sesuatu
yang dari tadi dipendamnya berat.
“Ren. Cinta itu apa adanya. Kalau dia memaksamu
berubah, itu bukan cinta. Tapi tawar menawar.”
Aku terhenyak. Aku cukup kaget ketika mendengarnya
bercerita tentang ilmu alam. Tapi untuk soal cinta? Dia berhasil membuatku
terpesona lebih dalam. Ku dongak kan kepalaku, kudapati mata teduhnya seperti
dulu sedang menatapku pengertian.
“Jadi sedang jatuh cinta dengan siapa Nona cantik?.”
Dia mulai menggodaku lagi. Segera ku cubit pipinya
dengan gemas. Lalu dia pura-pura merintih kesakitan. Ah, kamu benar benar bisa
membuatku tertawa kembali.
“Rahasia.”
Mana mau aku mengakuinya sekarang? Gengsi dong! Kata
Kezia, jangan terburu-buru, perempuan itu kodratnya memberi jawaban. Bukan
menunggu jawaban.
“Oh jadi sekarang mainnya rahasia-rahasiaan ya?.”
“Kok Cuma aku yang ditodong? Bahkan kamu belum
pernah cerita sedang jatuh cinta dengan siapa!.”
Menyelam sambil minum air. Kalau begini, dia tak
bisa mengelak lagi.
Kulihat ekspresinya berubah. Menjadi dingin dan
kaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, Dia sesegera mungkin menutup bukunya dan
berdiri.
“Adit?”
Melihat ekspresinya yang berubah seperti itu. ada
sesuatu yang berdesir dihatiku. Entah ini pertanda baik atau buruk. Seketika
tubuhku seperti menggigil. Lain kali aku akan menanyakan efek apa ini kepada
Kezia.
“Suatu saat kamu pasti tau,” Ucap Adit sambil
berlalu. Tanpa menoleh sekalipun.
Lagi-lagi angin dalam hatiku berhembus semakin
kencang. Membuat tubuhku semakin menggigil. Ada apa ini gerangan? Semoga bukan
sesuatu yang buruk.
*
Kuceritakan
semuanya pada Kezia. Tapi ternyata percuma, dia hanya menggeleng. Katanya, “Gue
lupa Ren. Terlalu banyak gue jatuh cinta.”
Aku memandangnya maklum. Gadis didepanku ini,
berkali kali mengalami berbagai macam drama. Dengan siklus yang berbeda. Yang
aku herankan adalah. Dalam waktu dua bulan di bisa dua kali jatuh cinta. Dan
mampu dua kali mendapatkan cinta. Sedangkan aku? Boro-boro dalam waktu dua
bulan. Aku mengejar cinta Adit selama enam bulan. Dan itu saja belum diresmikan
dengan cara nyatakan cinta.
Kadang aku berpikir, apa yang salah denganku?
Mungkin kurang menarik. Tapi Adit bilang, cinta itu apa adanya. Tak perlu
diubah! Lalu bagaimana caranya Kezia dengan mudah mampu mendapatkan cinta?
Mungkin aku harus menyatakan cinta terlebih dulu?
Apalah arti kodrat. Sekarang zamannya emansiapsi wanita. Sudah banyak kok, wanita
dulu yang memulai.
“Kez, menurutku lebih baik, aku dulu deh yang
nyatain.”
Kezia yang tadi sedang asyik mengotak atik
Blackberry nya. Segera melotot kearahku.
“No! No!.. No!..”
“Tapi kez, nunggu terus capek tau!.”
Menunggu itu melelahkan. Apalagi yang ditunggu belum
pasti datang. Sesuatu jika lama lama dipendam itu akan menguap, dan suatu saat
pasti akan tercium juga kan?
“Terserah deh. Tapi gue gak tanggung jawab resikonya
ya?,” ucap kezia dengan ekspresi mengancam.
Resiko apasih? Tidak ada resiko yang buruk kan untuk
menyatakan cinta duluan?. Mungkin ada resiko terburuknya. Yaitu: ditolak.
Aku menean ludah yang terasa berat dan mengganjal.
Ditolak? Itu adalah kenyataan terburuk. Sudah merelakan harga diri. Ditolak
pula! Aku benar benar tidak akan membayangkannya.
Tapi… jika terjadi? Aku mulai bimbang. Apakah Adit
mencintaiku? Dilihat dari sikapnya, cara berceritanya jawabannya iya! Tapi
selama ini Adit tak pernah mengatakannya.
Ah, mungkin harus kupancing lagi. Ya, besok akan
kulihat reaksinya lagi.
“Gue penasaran sama yang namanya Adit itu yang
mana.”
Kata kata Kezia membuatku tersedak dari lamunan. Oh
iya, selama ini Kezia belum pernah kupertemukan dengan Adit. Setiap ku ajak ke
perpustakaan jawabannya selalu, “Gue anti sama Perpustakaan.”
“Suatu saat kamu pasti tau,” kutiru ucapan Adit yang
penuh misteri kemarin. Entah kenapa mengingat kata kata itu membuat hatiku
ngilu kembali.
Sedangkan Kezia hanya menatapku dengan dahi
berkerut.
*
Pagi
ini benar-benar pagi yang menyebalkan. Tiba-tiba aku mengalami PMS yang membuat
enggan untuk pergi ke sekolah. Kepala rasanya pusing jika dipaksakan untuk
berjalan. Sedangkan perut, melilit tanpa batas. Dan akhirnya kuputuskan dengan
tepat. Aku absen sekolah. Absen untuk mengunjungi perpustakaan, dan pastinya
absen mendengarkan cerita Adit.
Sore
nya tanpa diduga Kezia datang menjeguk. Membawa seambrek catatan dan tugas
rumah. Beginilah jika tidak masuk sekolah. Walaupun sehari, tugas tak pernah
menunggu hari.
“Ren, gue lagi kesemsem sama cowok,” ungkap Kezia
memulai pembicaraan.
Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. “Lagi?”
Kezia tertawa kecil. Dan mulailah drama cinta Kezia
dengan season yang baru.
“Pertemuan pertama itu selalu full of shit ya? Gue tadi ketemu dia gara gara dia gak sengaja
nubruk gue. Dan jadinya deh kentang goreng gue tumpah semua.”
Kezia berhenti sejenak, dia menatap kearahku.
Melihat bagaimana tanggapan dari ekspresi wajahku.
Mimic wajahku kubuat semenarik mungkin dengan apa
yang sedang diceritakan Kezia. Padahal batin ku berkata ,sinetron sekali!
“Awalnya gue mau marah. Sumpah gue bener-bener
emosi. Tapi waktu ngelihat wajahnya. Gue takjub! Patung dewa yunani idup! Gue
gak bisa mendefinisakn ketampanannya dengan kata-kata Ren. Loe harus lihat
sendiri!.”
Dengan difinisi dari Kezia yang mengatakan bahwa
pemuda itu seperti patung dewa yunani yang hidup. Membuat satu kata dalam
benakku. Yaitu,mengerikan!
“Terus dia kelas apa? Namanya?”
“Itu dia! Gue belum sempet Tanya kelasnya! Tapi gue sempet
lihat name tag nya.. kalo gak salah namanya Anggara!.”
Reflex, dahi ku mengernyit. Aku seperti pernah
mendengar nama itu. tapi dimana? Atau mungkin dia acara TV?
“Kayak pernah denger Kez!.”
“Namanya emang pasaran. Tapi gue yakin dia murid
baru.”
“Kenapa bisa seyakin itu?.”
Kezia mengubah posisi duduknya menjadi bersila.
Sambil menyomot biscuit yang baru saja dibelikan mami tadi Kezia berkata sambil
tersnyum menang, “Karena gak ada cowok ganteng di sekolah yang belum gue kenal
Hahaha!.”
Pluk! Bersamaan dengan suara tawa Kezia yang
menggelegar itu, sebuah guling sukses kujatuhkan kearah wajahnya.
Hari ini aku mendapatkan pesan moral dikala perutku
yang melilit, Bersama sahabat sesakit apapun kepalamu, akan menjadi lebih baik.
Percayalah!
*
Ada satu hal dimana kau benar benar
merindukan sekolah. Yaitu, ketika disana ada seseorang yang selalu kau rindukan
segala ceritanya. Maka dari itu, pagi hari ini. Aku benar-benar bersemangat.
Satu hari tak bertemu dengan Adit membuat rindu itu menumpuk dalam hati,
menjadi magma yang ingin dimuntahkan segera.
Maka ketika bel istirahat berbunyi, aku segera
menyerbu perpustakaan. Berjalan bersemangat! Seolah aku merindukan aroma
perpustakaan yang berdebu karena banyak buku yang jarang tersentuh.
“Ren, Renaa..” suara nyaring yang sangat ku kenal
mengenai indra pendengaranku. Aku yang sedang berjalan dengan riangnya lantas
menoleh. Ternyata betul, Kezia.
“Ngapain? Kan kayak biasanya, istirahat pertama aku
diperpustakaan. Istirahat kedua dikantin.”
Ada yang berbeda dari Kezia hari ini. Lebih terlihat
fresh dan ceria. Jangan-jangan dia salah sarapan?
“Gue mau ke perpustakaan.”
Pertanyaan Kezia yang ini, sukses membuatku melogo!
Betulkan apa kataku, Kezia benar benar salah sarapan.
“Are you kidding me?,” Tanya ku menyelidik.
“Ngapain? Gak ada untungnya becanda in loe!, ayo
buruan! Keburu bel nanti.”
Dengan paksa, Kezia menyeretku. Tanpa pernah
mengerti, bahwa aku masih mematung bingung. Apakah dunia sudah berbalik
sekarang?
Disepanjang perjalanan, Kezia menceritakan sebab-sebabnya
mengapa ia memutuskan pergi ke perpustakaan, setelah sekian lama ia
mendeklarasikan pernyataan. ‘Anti Perpustakaan’. Alasannya, “Gue lagi pengen
aja!.” Nggak percaya! Sungguh!
Ah tapi sudahlah. Apapun alasannnya kenapa
ditentang? Orang tobat kok di marahin.
“Eh! Gue lupa bawa kartu perpustakaan! Bentar ya
ague ke kelas dulu.”
Kezia pun pergi ke kelas padahal kurang 3 kelas lagi
kami sampai ke perpustakaan.
Aku pun melanjutkan perjalanan ku sendiri. Rasanya,
aku sudah tak sabar bertemu dengan dia. Adit, sang pengisi rindu ku.
Perpustakaan. Di sini pun aku segera mencari
keberadaanya. Ke area buku biologi, fisika, astronomi, sampai sejarah tokoh.
Namun di area yang sering dikunjugi Adit tak terlihat dia dimanapun. Kemana
dia? Apa tidak masuk? Ah, cari aja dulu sampai seluruh Area di perpustakaan
habis.
Maka, aku mencarinya keberbagai area yang kupikir
Adit jarang ada disana. Sampai batas keputus asa ku, kutemukan sosoknya.
Diantara berbagai buku warna warni tentang cinta.
“Adit!.”
Dia menoleh. Sembari tersenyum. Ah, kenapa wajahnya
hari ini bertambah tampan. Kelihatannya dia sedang bahagia.
“Kamu kemaren kemana aja? Aku garing kalau gak ada
kamu!.”
Demi buku buku yang telah lapuk disini! Dengar apa
yang baru saja diucapkan lelaki didepanku ini. Dia merindukanku!
“Aku---“
“Aku beri tau kamu sesuatu! Jawaban yang sudah kamu
tunggu-tunggu.”
Tanpa memperdulikan lanjutan kalimatku, Adit segera
menarik lenganku kedepan ruang perpustakaan. Sikapnya yang tiba-tiba ini
membuat hatiku berdesir kembali. Kenapa ini? Apakah Adit akan menyatakan cinta
padaku? Oh siapkan hatiku Tuhan!
“Lihat kesana!,” ucapnya sambil menuding ke suatu
arah, aku pun mengikutinya.
“Ditempat sana. Ada sesuatu yang mmebuatku jatuh
cinta. Namanya Kezia. Kamu suka?.”
Disana, tepat diujung jari telujuk tangannya,
berdiri sosok Kezia yang sedang bercengkrama dengan petugas perpustakaan. Sosok
yang membuat otak ku berpikir dengan keras. Seolah semua keadaan disekelilingku
berputar. Aku ingat, nama Adit adalah Raditya Anggara. Lalu kemudian muncul
wajah Kezia yang berseri-seri dan wajah Adit yang tersenyum mengembang. Dan
seterusnya, semua berputar cepat. Berbagai pertanyaan melintas dalam benakku
yang ingin kulontarkan pada Adit. Bagaimana bisa? Dua sosok yang selalu
membubuhkan kisah klasik tentang bagaimana jalannya cinta, lalu dengan mudah,
melemparkanku keluar dari cerita. Adit yang selalu bercerita tentang alam.
Kezia yang selalu mendongengiku tentang cinta. Bagaimana bisa memaksaku untuk
menerima? Menerima Drama cerita yang telah disodorkan Tuhan.
Masih dalam keadaan tidak percaya. Kutanya pada Adit
yang masih tidak memahami perubahan ekspresiku. “Kenapa suka dia?.”
Dengan semangat cinta yang menggelora Adit
mengucapkan rahasianya. “Coba lihat bulu matanya!”
Detik itu, sebuah pernyataan memaksa ku kembali
menjadi penonton drama Kezia. Dan hari ini, aku menerima balasan lemparan
bantal dari Kezia.
TAMAT
HASIL KARYA MURNI : Erni Tsania